Minggu, 13 November 2016

Untuk Pertama Kali, Tim Astronom Mengukur Radius Lubang Hitam



Titik tanpa balik; dalam astronomi di kenal sebagai Lubang Hitam — suatu wilayah dalam ruang yang memiliki gravitasi begitu kuat sehingga tak ada satu pun, bahkan cahaya, yang mampu meloloskan diri darinya. Lubang hitam yang besarnya mencapai ribuan kali lipat dari matahari kita mungkin terletak di jantung sebagian besar galaksi. Lubang hitam supermasif ini memiliki kekuatan yang begitu dahsyat sehingga aktivitas di pinggirannya mampu beriak di sepanjang inang galaksinya.
Kini, sebuah tim internasional, yang dipimpin para peneliti dari Observatorium Haystack MIT, untuk pertama kalinya mengukur radius lubang hitam di pusat galaksi jauh – jarak terdekat di mana materi dapat mendekat sebelum akhirnya ditarik ke dalam hitam lubang.
 
Para astronom menghubungkan antena radio di Hawaii, Arizona dan California untuk membuat array teleskop yang disebut “Event Horizon Telescope” (EHT), yang mampu melihat rincian 2.000 kali lebih halus dari apa yang bisa terlihat oleh Hubble Space Telescope. Antena-antena radio ini diaplikasikan pada M87, sebuah galaksi berjarak sekitar 50 juta tahun cahaya dari Bima Sakti. Galaksi M87 merupakan tempat berlabuhnya lubang hitam berukuran 6 miliar kali lebih besar dari matahari kita; dan dengan menggunakan array ini, tim ilmuwan mengamati kilauan materi di dekat tepian lubang hitam - suatu area yang dikenal sebagai “event horizon.”
“Setelah objek jatuh melalui event horizon, objek itu akan hilang selamanya,” kata Shep Doeleman, asisten direktur di Observatorium Haystack MIT dan asosiasi riset di Observatorium Astrofisika Smithsonian. “Itu adalah pintu keluar dari alam semesta kita. Jika Anda berjalan melalui pintu itu, Anda tidak akan kembali.”
Doeleman bersama rekan-rekannya menerbitkan hasil studi ini dalam jurnal Science.

Jet di Tepi Lubang Hitam
Lubang hitam supermasif merupakan objek paling ekstrim yang pernah diprediksi dalam teori gravitasi Albert Einstein – yang mana, menurut Doeleman, “gravitasi sepenuhnya kacau dan meremukkan massa besar ke dalam ruang yang sangat dekat.” Pada tepi lubang hitam, gaya gravitasinya sedemikian kuat hingga menarik segala yang ada di sekelilingnya. Namun, tak semuanya bisa menyeberangi event horizon untuk menyelip ke dalam lubang hitam. Hasilnya adalah “kemacetan kosmik” di mana gas dan debu membentuk panekuk datar materi yang dikenal sebagai cakram akresi. Cakram materi ini mengorbit di seputar lubang hitam dengan kecepatan yang hampir mencapai kecepatan cahaya, menyuapi lubang hitam dengan material super panas dalam pola makan yang stabil. Seiring waktu, cakram ini dapat menyebabkan lubang hitam berputar ke arah yang sama seiring mengorbitnya material tersebut.
Yang terperangkap dalam aliran spiral itu adalah medan magnet, yang mempercepat laju material panas di sepanjang balok sinar kuat di atas cakram akresi, menghasilkan jet berkecepatan tinggi, diluncurkan oleh lubang hitam dan cakram, ditembakkan keluar melintasi galaksi, memanjang sejauh ratusan ribu cahaya tahun. Jet ini dapat mempengaruhi berbagai proses aktivitas galaksi, termasuk seberapa cepat bintang terbentuk.
Gambar ini, yang dibuat dengan model komputer, menunjukkan bagaimana ekstrimnya gravitasi lubang hitam di M87 mendistorsi penampilan jet di dekat event horizon. Bagian radiasi dari jet dibengkokkan oleh gravitasi ke arah sebuah cincin yang dikenal sebagai ‘bayangan’ lubang hitam. (Kredit: Avery E. Broderick – Institut Perimeter dan Universitas Waterloo)

‘Apakah Einstein benar?’
Sebuah lintasan jet dapat membantu para ilmuwan untuk memahami dinamika lubang hitam dalam wilayah di mana gravitasi lubang hitam itu memiliki kekuatan yang dominan. Doeleman berpendapat bahwa lingkungan yang ekstrim sangat cocok untuk mengkonfirmasi teori relativitas umum Einstein – bisa menjadi deskripsi gravitasi yang definitif di masa sekarang.
“Teori-teori Einstein telah diverifikasi pada kasus-kasus medan gravitasi-rendah, seperti di bumi atau di tata surya,” kata Doeleman. “Tapi belum pernah diverifikasi secara tepat pada satu-satunya tempat di alam semesta di mana teori Einstein mungkin bisa berantakan – yaitu tepat di tepi lubang hitam.”
Berdasarkan teori Einstein, massa lubang hitam dan putarannya menentukan seberapa dekat materi dapat mengorbit sebelum kestabilannya hilang dan jatuh menuju event horizon. Karena jet pada galaksi M87 secara magnetis diluncurkan dari orbit terkecil ini, maka para astronom dapat memperkirakan perputaran lubang hitam melalui pengukuran cermat pada besaran jet saat meninggalkan lubang hitam. Hingga saat ini, belum ada teleskop yang memiliki kekuatan cukup besar yang dibutuhkan untuk pengamatan jenis ini.
Sebuah cakram akresi (oranye) gas dan debu di sekeliling lubang hitam supermasif yang terletak di pusat sebagian besar galaksi. Cakram materi galaktik ini memancarkan balok sinar magnetik (garis merah muda) yang dimuntahkan dari pusat lubang hitam, menarik keluar materi dari kedua ujung pada jet berkekuatan tinggi. (Kredit: NASA dan Ann Field – Space Telescope Science Institute)
“Kita kini berada dalam posisi untuk mengajukan pertanyaan, ‘Apakah Einstein benar?’” kata Doeleman. “Kami dapat mengidentifikasi fitur-fitur dan tanda-tanda alam yang diprediksi dalam teori-teorinya, pada medan gravitasi yang sangat kuat tersebut.”
Tim riset menggunakan teknik yang disebut Very Long Baseline Interferometry, atau VLBI, yaitu menggabungkan data dari antena-antena radio yang saling terpisah ribuan mil. Sinyal dari berbagai antena itu dikumpulkan, menciptakan sebuah “teleskop virtual” dengan kekuatan dalam teleskop tunggal yang sama besarnya dengan jarak di antara antena-antena yang terpisah tersebut. Teknik ini memungkinkan para ilmuwan untuk melihat rincian yang sangat tepat di galaksi jauh.
Dengan menggunakan teknik ini, Doeleman bersama timnya mengukur orbit terdalam cakram akresi menjadi hanya 5,5 kali ukuran event horizon lubang hitam. Berdasarkan hukum fisika, ukuran ini menunjukkan bahwa cakram akresi berputar searah dengan lubang hitam – pengamatan langsung pertama dalam rangka mengkonfirmasi teori tentang bagaimana lubang hitam menembakkan jet dari pusat galaksi.
Tim riset berencana memperluas array teleskop ini, menambah antena radio di Chili, Eropa, Meksiko, Greenland dan Antartika, untuk memperoleh gambar lubang hitam yang lebih rinci di masa yang akan datang.
Christopher Reynolds, profesor astronomi di Universitas Maryland, mengatakan bahwa hasil riset kelompok ini menghadirkan data pengamatan pertama yang nantinya akan membantu para ilmuwan memahami bagaimana jet lubang hitam berperilaku.
“Sifat dasar jet masih misterius,” kata Reynolds. “Banyak astrofisikawan yang menduga bahwa jet ditembakkan oleh putaran lubang hitam … tapi kini, gagasan-gagasan itu sepenuhnya masih berada dalam ranah teori. Pengukuran ini merupakan langkah pertama dalam menempatkan gagasan-gagasan tersebut pada dasar observasional yang tegas.”

Kredit: Massachusetts Institute of Technology
Jurnal: Sheperd S. Doeleman, Vincent L. Fish, David E. Schenck, Christopher Beaudoin, Ray Blundell, Geoffrey C. Bower, Avery E. Broderick, Richard Chamberlin, Robert Freund, Per Friberg, Mark A. Gurwell, Paul T. P. Ho, Mareki Honma, Makoto Inoue, Thomas P. Krichbaum, James Lamb, Abraham Loeb, Colin Lonsdale, Daniel P. Marrone, James M. Moran, Tomoaki Oyama, Richard Plambeck, Rurik A. Primiani, Alan E. E. Rogers, Daniel L. Smythe, Jason SooHoo, Peter Strittmatter, Remo P. J. Tilanus, Michael Titus, Jonathan Weintroub, Melvyn Wright, Ken H. Young, Lucy Ziurys. Jet-Launching Structure Resolved Near the Supermassive Black Hole in M87. Science, 2012; DOI: 10.1126/science.1224768

Diposting Senin, 1 Oktober 2012 jam 10:44 pm oleh Gun HS


Para Peneliti Teori String Mensimulasikan Big Bang dengan Superkomputer

Tiga orang fisikawan asal Jepang telah menerapkan reformulasi teori string, yang disebut IIB, di mana matriks yang digunakan untuk menggambarkan sifat-sifat fisik alam semesta, pada superkomputer, secara efektif menunjukkan bahwa alam semesta secara spontan menggelembung dalam tiga arah, meninggalkan enam dimensi lain yang terbungkus rapat, seperti yang telah diprediksi teori string selama ini. Pekerjaan mereka, seperti yang dijelaskan dalam makalah pada server arXiv dan yang akan segera muncul dalam Physical Review Letters, pada dasarnya menjelaskan tentang kelahiran alam semesta.
Teori string adalah teori yang menggabungkan mekanika kuantum dengan teori relativitas umum, yang seharusnya menjadi “teori segalanya”, salah satu teori tunggal yang dapat meringkas dan menjelaskan tentang segala sesuatu yang terjadi di alam semesta. Diperlukan kepastian yang tinggi, namun sejauh ini merupakan salah satu yang telah terbukti berguna dalam mendeskripsikan fenomena-fenomena yang berlainan seperti elektromagnetisme, gravitasi dan cara kerja lubang hitam.
Masalah yang dihadapi dengan teori string adalah karena sifatnya yang sangat sulit untuk dibuktikan secara nyata, yaitu bahwa sebenarnya ada sembilan dimensi, di mana waktu berperan sebagai dimensi kesepuluh, dan bahwa segala sesuatu terbuat dari jumlah tak terbatas garis yang berosilasi, yang disebut string (dawai), dibandingkan jika jumlah tak terbatas titik partikel membentuk dasar dari segala sesuatu. Masalah rumitnya adalah kenyataan bahwa kita hanya bisa melihat tiga dimensi, karena, secara teoritis, enam lainnya meringkuk ke dalam struktur kecil yang disebut manipol Calabi-Yau.
Untuk menyiasati masalah ini, para peneliti beralih ke model matriks IIB, yang mana teori string direpresentasikan menggunakan matriks besar tak terhingga, meskipun dalam kasus ini, diperkecil hanya berukuran 32×32 untuk tujuan praktis. Tim memodelkan semacam matriks pada superkomputer kemudian mereplikasikannya untuk menciptakan ratusan ribu matriks pada setiap simulasi saat-saat pertama alam semesta. Mereka kemudian menjalankan simulasi selama dua bulan. Simulasi ini memungkinkan tim untuk dalam menyaksikan berbagai esensi sebagaimana alam semesta mencapai titik ekspansi selama Big Bang. Namun yang lebih penting, mereka dapat melihat semua sembilan dimensi yang muncul, seperti aba-aba, dalam tiga arah, dengan enam di antaranya yang tersisa terbungkus erat, seperti yang telah disarankan teori string telah terjadi selama kelahiran alam semesta.
Rencana tim riset berikutnya adalah memastikan apakah mereka dapat memodelkan bagaimana kuantum ruang-waktu berkembang menjadi hal yang saat ini bisa kita rasakan di sekitar kita, dengan membangun model yang lebih besar menggunakan matriks yang lebih besar.

Jurnal: Sang-Woo Kim, Jun Nishimura, Asato Tsuchiya. Expanding (3+1)-dimensional universe from a Lorentzian matrix model for superstring theory in (9+1)-dimensions. Physical Review Letters, 2011. arXiv: 1108.1540v2 [hep-th]


Diposting Kamis, 15 Desember 2011 jam 5:44 am oleh Gun HS


Kelahiran Planet Raksasa? Calon Protoplanet Terlihat Dalam Rahim di Seputar Bintang



Dengan menggunakan Teleskop Very Large ESO, para astronom memperoleh pengamatan langsung yang pertama pada pembentukan sebuah planet yang masih terbenam dalam cakram tebal gas dan debu. Andai terkonfirmasi, penemuan ini akan sangat memperluas pemahaman kita tentang bagaimana planet terbentuk dan memungkinkan para astronom untuk menguji teori-teori saat ini berdasarkan target yang teramati.
Tim internasional yang dipimpin Sascha Quanz (ETH Zurich, Swiss) mempelajari cakram gas dan debu yang mengelilingi bintang muda HD 100546, tetangga dekat berjarak sekitar 335 tahun cahaya dari bumi. Mereka dikejutkan dengan apa yang tampaknya seperti proses pembentukan sebuah planet, masih berbenam dalam cakram material di seputar bintang muda. Calon planet itu akan menjadi gas raksasa yang mirip dengan Jupiter. “Sejauh ini, pembentukan planet menjadi topik yang sebagian besar ditangani dengan simulasi komputer,” ungkap Sascha Quanz, “Jika temuan kami ini memang pembentukan sebuah planet, maka untuk pertama kalinya para ilmuwan akan bisa mempelajari proses pembentukan planet serta interaksi pembentukan sebuah planet dengan lingkungan tempat kelahirannya secara empiris pada tahap yang sangat awal.”

HD 100546 merupakan objek yang mudah dipelajari dengan baik. Di sekitar bintang tersebut diduga terdapat pula sebuah planet raksasa yang mengorbit sejauh enam kali jarak bumi-matahari. Sedangkan calon planet yang baru ditemukan terletak di wilayah luar sistem, sekitar sepuluh kali lebih jauh[1].
Calon planet di seputar HD 100546 terdeteksi sebagai gumpalan samar dalam cakram di sekeliling bintang, yang terungkap berkat kehandalan instrumen optik adaptif NACO pada Teleskop Very Large ESO, dikombinasi dengan teknik analisis data terbaru. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan coronagraph khusus pada NACO, yang beroperasi pada panjang gelombang inframerah dan meredam cahaya cemerlang yang berasal dari bintang di lokasi calon protoplanet[2]. Berdasarkan teori saat ini, planet raksasa bertumbuh dengan menangkap gas dan debu yang tersisa dari pembentukan bintang[3]. Dengan mempelajari gambar terbaru cakram di sekeliling HD 100546, para astronom menemukan beberapa fitur yang mendukung hipotesis protoplanet tersebut. Struktur-struktur dalam cakram berdebu di sekeliling bintang, yang bisa disebabkan oleh interaksi antara planet dan cakram, ditemukan di dekat protoplanet. Selain itu, terdapat pula beberapa indikasi bahwa di sekeliling protoplanet tersebut berpotensi memanas akibat proses pembentukan.

Adam Amara, anggota lain dalam tim, sangat antusias dengan penemuan ini. “Penelitian ekstrasurya adalah salah satu batasan baru yang paling menarik dalam astronomi, dan pencitraan langsung pada planet masih merupakan bidang baru, sangat diuntungkan dengan kemajuan terbaru di berbagai instrumen dan metode analisis data. Pada penelitian kali ini, kami menggunakan teknik analisis data yang dikembangkan untuk riset kosmologis, menunjukkan bahwa fertilisasi lintas-gagasan di antara berbagai bidang dapat menghasilkan kemajuan yang luar biasa. ”Meskipun protoplanet menjadi penjelasan yang paling mungkin dalam pengamatan ini, namun hasil dari penelitian memerlukan pengamatan lebih lanjut untuk mengkonfirmasi keberadaan planet dan mengabaikan skenario-skenario masuk akal lainnya. Di antara beberapa penjelasan lainnya, bisa dimungkinkan jika sinyal yang terdeteksi berasal dari sumber latar belakang. Bisa dimungkinkan pula jika objek yang baru terdeteksi itu bukanlah protoplanet, melainkan planet yang sudah sepenuhnya terbentuk dan keluar dari orbitnya lebih mendekat pada bintang. Jika objek di seputar HD 100546 itu sudah dikonfirmasi sebagai pembentukan planet yang terbenam dalam cakram gas dan debu, maka itu akan menjadi laboratorium yang unik untuk mempelajari proses terbentuknya sistem planet baru.

Catatan:
[1]^Calon protoplanet mengorbit bintang induknya sejauh 70 kali lipat jarak bumi-matahari. Jarak ini sebanding dengan ukuran orbit planet-planet kerdil di luar Tata Surya seperti Eris dan Makemake. Lokasi itu menjadi kontroversial karena tidak sesuai dengan teori pembentukan planet saat ini. Untuk sekarang, belum jelas apakah calon planet itu sudah lama berada dalam posisi saat ini dari sejak pembentukannya ataukah bermigrasi dari wilayah bagian dalam sistem.
[2]^Tim riset menggunakan fitur khusus yang disebut pelat fase penghalusan untuk meningkatkan kontras gambar dekat dengan bintang.
[3]^Untuk mempelajari pembentukan planet, para astronom tidak bisa melihatnya pada tata surya kita, karena semua planet di lingkungan kita sudah terbentuk lebih dari empat miliar tahun lalu. Namun selama bertahun-tahun, teori-teori tentang pembentukan planet sangat dipengaruhi dengan apa yang bisa dilihat astronom dalam lingkungan lokal mengingat tidak ada planet lain yang diketahui. Sejak tahun 1995, saat ditemukannya planet ekstrasurya pertama di sekitar bintang mirip matahari, berlanjut dengan temuan beberapa ratus sistem planet, terbukalah peluang baru bagi para ilmuwan untuk mempelajari pembentukan planet. Namun hingga kini, belum pernah ada proses pembentukan yang berhasil “tertangkap basah”, meskipun tetap terbenam dalam cakram material di seputar bintang induknya.

Kredit: European Southern Observatory – ESO
Jurnal: Sascha P. Quanz, Adam Amara, Michael R. Meyer, Matthew A. Kenworthy, Markus Kasper, and julien H. Girard. A YOUNG PROTOPLANET CANDIDATE EMBEDDED IN THE CIRCUMSTELLAR DISK OF HD100546. ApJ Letters, 2013 (in press)

Diposting Jumat, 1 Maret 2013 jam 3:51 pm oleh Gun HS



Simulasi Membantu Ilmuwan Lebih Memahami Asal Usul Tata Surya Kita



Simulasi menambahkan pentingnya data gambar dan pengukuran yang diperoleh dari misi ruang angkasa: Berdasarkan sampel dari sebuah asteroid, astrofisikawan Universitas Bern, Martin Jutzi, menunjukkan bagaimana tabrakan asteroid itu dengan benda luar angkasa lainnya dapat direkonstruksi dan struktur internalnya bahkan dapat dideskripsikan. Model simulasi ini dengan demikian membantu dalam upaya memahami perkembangan sistem tata surya kita.
Empat setengah miliar tahun yang lalu, partikel debu dalam awan gas raksasa terkombinasi membentuk gumpalan yang kian membesar. Penggumpalan ini terus berakumulasi hingga bertumbuh menjadi planet. Namun di antara orbit planet Mars dan Jupiter, masih tetap tersisa ratusan ribu fragmen kecil lainnya. Fragmen-fragmen itu membentuk apa disebut sebagai sabuk asteroid dan nyaris tidak pernah mengubah komposisinya sejak saat itu. Dengan demikian, asteroid memendam informasi dalam jumlah yang tak terkira tentang asal-usul tata surya kita.
Dalam penelitian ini, perhatian khusus ditujukan pada sebuah asteroid bernama Vesta: Dengan ukurannya yang berdiameter sekitar 500 kilometer, Vesta menjadi salah satu dari tiga asteroid terbesar dan dianggap sebagai sebuah protoplanet. Selain itu, Vesta merupakan satu-satunya asteroid yang diketahui memiliki struktur mirip bumi - terdiri dari inti, mantel dan kerak.

Simulasi Komputer Merekonstruksi Tabrakan Antar Asteroid
Dengan menggunakan simulasi komputer tiga dimensi, Martin Jutzi dari Center for Space and Habitability (CSH) di Universitas Bern, kini secara detail merekonstruksi bagaimana Vesta mengalami dua kali tabrakan dengan asteroid lain pada lebih dari satu miliar tahun yang lalu. Model komputer menunjukkan bahwa kedua tabrakan tersebut menghasilkan bentuk elips pada protoplanet dan meninggalkan goretan pada struktur permukaannya.
Simulasi komputer juga untuk pertama kalinya menghadirkan kesimpulan terperinci tentang komposisi dan sifat-sifat interior Vesta, yang membantu kita untuk lebih memahami evolusi tata surya.
Selain itu, pembentukan planet sangat tergantung pada tabrakan antar benda-benda angkasa. “Metode kami pada khususnya memfasilitasi analisis informatif terhadap data gambar dan pengukuran dari misi ruang angkasa,” jelas Martin Jutzi.
Penelitian yang dikerjakan bersama dengan para peneliti dari EPFL, Perancis dan Amerika Serikat ini, melengkapi sampul Nature edisi 14 Februari.

Gambar dari simulasi 3D: Tabrakan asteroid Vesta dengan asteroid lain yang berukuran sekitar sepersepuluh darinya, menyemburkan sejumlah besar material. Dua tabrakan yang terjadi secara beruntun membentuk dua kawah raksasa yang saling tumpang tindih dan nyaris merentang di seluruh belahan selatan Vesta. (Kredit: Martin Jutzi, CSH, Universitas Bern / Pascal Coderay, EPFL)

Model Mengungkap Rahasia Tersembunyi
Sebelumnya, pengamatan dengan Teleskop Ruang Angkasa Hubble menyodorkan bukti awal adanya kawah raksasa di kutub selatan Vesta. Kemudian, di tahun 2007, satelit “Dawn” milik NASA memulai perjalanan ruang angkasanya ke dalam masa lalu tata surya. Dimulai pada musim panas tahun 2011, satelit itu mengorbit di seputar Vesta selama setahun. Gambar dalam kisaran yang bisa terlihat bersama data pengukuran lainnya menyediakan informasi tentang topografi asteroid dan komposisi mineral yang terlihat pada permukaannya. Hasilnya kemudian menjadi jelas bahwa kawah pada kutub selatan Vesta yang sebelumnya tertangkap oleh Hubble ternyata berupa dua cekungan yang sebagian saling tumpang tindih.
Berdasarkan informasi ini, simulasi komputer dari tim Jutzi menunjukkan secara persis bagaimana dua tabrakan secara berturut-turut menyebabkan terbentuknya cekungan tumpang tindih tersebut, yang merentang hampir di seluruh belahan selatan Vesta. Model simulasi menunjukkan ukurannya (diameter 66 dan 64 kilometer), kecepatan (5,4 kilometer per detik) serta sudut tumbukan pada dua objek yang bertabrakan dengan Vesta. Hal ini banyak mengungkap tentang sifat objek-objek yang berada di dekat protoplanet tersebut pada satu miliar tahun yang lalu.
Gambar-gambar akhir yang dihadirkan dalam simulasi sangat mirip dengan bentuk dan topografi belahan bagian selatan Vesta sebagaimana yang sebelumnya teramati oleh misi Dawn. Model ini bahkan secara akurat mereproduksi struktur berbentuk spiral di bagian dalam kawah termuda yang terlihat pada gambar dari misi Dawn.
“Ini menunjukkan betapa handalnya metode kami,” ujar Jutzi dengan gembira. Para peneliti berasumsi bahwa model ini juga menyediakan informasi tentang fitur-fitur Vesta yang sebelumnya tersembunyi. Misalnya, simulasi komputer mengungkapkan bahwa material yang tersingkap akibat dua tumbukan tersebut berasal dari kedalaman hingga 100 kilometer. “Berdasarkan pada jenis dan distribusi material ini, kami mampu merekonstruksi secara tepat berbagai lapisan di bagian dalam Vesta,” jelas Philippe Gillet, direktur Earth and Planetary Science Laboratory, EPFL.
“Fakta bahwa kita kini dapat melihat ke bagian dalam protoplanet menciptakan perspektif yang sama sekali baru dalam penelitian tentang sejarah tata surya kita,” kata Jutzi.

Kredit: Universitas Bern
Jurnal: M. Jutzi, E. Asphaug, P. Gillet, J.-A. Barrat, W. Benz. The structure of the asteroid 4 Vesta as revealed by models of planet-scale collisions. Nature, 2013; 494 (7436): 207 DOI: 10.1038/nature11892


Diposting Sabtu, 16 Februari 2013 jam 6:55 am oleh Gun HS